Masih kuat dalam ingatan kita ketika Fraksi Demokrat memutuskan walk out dari pembahasan UU Pilkada. Walk out Fraksi Demokrat yang dikomandani Bung Harman berujung pada kemenangan KMP dengan mengalahkan KIH dalam pembahasan UU Pilkada. Paripurna DPR akhirnya memutuskan RUU Pilkada yang mengatur Pemilihan KDh dilakukan oleh DPRD. Keputusan Walk out fraksi Demokrat memberikan Jalan bagi kemenangan Hatrick KMP atas KIH.
Hasil ini membawa gelombang penolakan baru, masyarakat berduyun-duyun melakukan demonstrasi dan protes, Gugatan UU Pilkada di MK juga menumpuk.Dan yang tidak kalah seru adalah hujatan berbagai kalangan dan kelompok masyarakat kepada Presiden SBY. Mulai dari tokoh nasional, pengamat politik hingga masyarakat umum mencaci maki dan menghujat Presiden SBY. Hujatan terhadap Presiden SBY tidak hanya dari Jakarta hingga daerah. Disosial media hujatan terhadap Presiden SBY juga tidak kalah meriah.
Gelombang penolakan dan hujatan berujung pada keluarnya Perppu no 1 Tahun 2014 yang mengatur pemilihan Gubernur Bupati dan walikota oleh rakyat secara langsung. Perppu ini juga mengatur pemilihan Gubernur Bupati dan walikota secara tunggal tanpa wakil sesuai konstitusi. Perppu ini juga menambahka 10 perbaikan terhadap kelemahan pilkada selama 10 tahun belakangan. Gelombang penolakan dan hujatan terhadap Presiden SBY juga mereda dan hanya berganti thema dasar pengeluaran perppu. Ucapan terima kasih juga disampaikan masyarakat dari berbagai kalangan.
Namun hal berbeda terjadi ketika Perppu yang telah disahkan menjadi UU dirubah oleh DPR. Kita sebagai masyarakat diam saja, dan para tokoh dan pengamat yang sebelum ngotot untuk pilkada langsung justeru diam dan cuek terhadap perubahan yang dilakukan DPR. Padahal perubahan UU Pilkada yang dilakukan DPR tidak sekedar revisi UU.
UU Pilkada yang sebelumnya mengatur pemilihan Gubernur Bupati dan walikota secara tunggal dirubah menjadi pemilihan secara berpasangan bersama wakilnya. Hal ini berarti merubah norma ruh sebenarnya dari Perppu Pilkada yang dikeluarkan Presiden SBY. Perubahan ini selain bertentangan dengan konstitusi, juga mematahkan keputusan yang diambil Presiden SBY. Apakah kita diam dan cuek karena SBY sudah Mantan Presiden RI sehingga kebijakannya tidak dianggap ?
UU Pilkada yang sebelumnya mengatur perlunya uji publik agar masyarakat lebih memahami calon Gubernur Bupati dan walikota secara lebih dalam juga dirubah. Bahkan uji publik sebagai keunggulan produk perppu yang dikeluarkan Presiden SBY malah dihapuskan. Hal ini berarti norma ruh Perppu Pilkada yang dikeluarkan Presiden SBY dengan maksud perbaikan diabaikan. Perubahan untuk perbaikan pilkada yang dikeluarkan Presiden SBY ini dianggap tidak relevan dan hanya menambah tahapan pilkada dan pemborosan anggaran. Bukankah kita awalnya sudah sepakat bahwa proses demokrasi tidak boleh dikalahkan oleh efisiensi anggaran. Apalagi perbaikan yang dilakukan Presiden SBY adalah untuk menyelamatkan pilkada yang sarat dengan money politics. Apakah kita diam dan cuek karena SBY bukan lagi Presiden RI sehingga kebijakannya yang baik diabaikan?
Kiranya kita dapat adil terhadap para pemimpin kita. Bukan hanya pemimpin saja yang harus adil dengan rakyatnya. Kita sebagai rakyat juga harus adil kepada pemimpin kita, presiden kita baik yang sekarang maupun yang sudah mantan. Setidaknya para Mantan Presiden benar-benar dapat kita posisikan sebagai profil tokoh yang telah memberikan sumbangsih tenaga dan pikiran untuk kemajuan bangsa kita. Kita semua sebagai pemimpin tentu tidak ingin kebijakan yang ambil dianggap orang atau penerus kita sebagai kesalahan. Sehingga Ngenesnya Perasaan SBY selaku mantan Presiden (versi penulis) dapat terobati. Jangan ketika netral di hujat, namun saat mengambil kebijakan yang benar dan dirubah yang lain kita justeru cuek.
Jika ada kebijakan presiden kita yang baik mari kita dukung, jika ada yang menyalah mari sama kita kritik dan beri masukan. Sikap ini perlu kita rubah agar kita bangsa Indonesia dapat bangkit menuju indonesia baru yang lebih afdol.
Catatan dari kota Naga
Posting Komentar
Posting Komentar