Melihat perjalanan pengusuran yang dilakukan Ahok di DKI Jakarta, memang sudah selayaknya kita sebut sebagai pengusiran Paksa. Hal ini dapat dilihat dari pengabaian upaya dialog dengan warga hingga penggunaan aparat kepolisian dan TNI dalam penggusuran yang dilakukan Ahok di DKI. Sah-sah saja menggunakan aparatur dua instasi tersebut sepanjang dalam koridor hukumnya. Bukannya untuk menimbulkan efek tarumatik atau ketakutan pada warga.
Melihat dari perjalanan penggusuran paksa di DKI Jakarta, model penggusuran Ahok di DKI dapat kita sebut sebagai bentuk politik adu domba. Masyarakat dengan aparat sengaja dibenturkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan ahok.
Disamping itu, model pemaksaan terhadap warga juga dialami oleh Aparatur Sipil Negara di Pemprov DKI. Dimana birokrasinya juga mengahadapi ancaman pecat. Oleh karenanya tidak heran bentrokan kadang terjadi, karena orang yang sama-sama mempunyai kepentingan mempertahankan hidupnya dipertarungkan. Disatu sisi masyarakat ingin mempertahankan tempat tinggalnya, disisi lain aparatur sipil negara harus mempertahankan jabatan dan pekerjaannya.
Ironis penggusuran atau pengusiran paksa ini terjadi di Ibukota yang notabene adalah pusat perhatian dari seleuruh pelosok negeri. Miris melihat perlakuan penguasa negeri terhadap terhadap orang-orang kecil dan miskin di Ibukota. Apalagi jika niat pengusiran lebih didasari pada kepentingan pilkada dari pada kepentingan umum sendiri.
Berita terkait :
Berita terkait :
- Surat Terbuka ke Presiden Perihal Penggusuran Kampung Luar Batang
- Penggusuran Ahok dan pembantaian umat Muslim dalam April MOP
- Penggusuran Ahok dan Motif Pilkada DKI 2017
- Polisi dan TNI kiranya tidak membantu Ahok dalam Pengusiran Paksa
- Politik Adu Domba Ahok dalam Pengusiran Warga
- Konsep Politik Devide Et Impera Kolonial Belanda
- Sikap Ahok mengikuti kajian Christian Snouck Hurgronje
Posting Komentar
Posting Komentar